Konsep objek transisi memegang tempat penting dalam teori psikoanalitik perkembangan manusia. Konsep spesifik objek transisi pertama kali dipopulerkan oleh D. W. Winnicott pada tahun 1953. Saat itu ia merumuskan bagaimana suatu objek atau pemikiran atau bahkan perasaan dapat berfungsi sebagai semacam jembatan antara dua tahap perkembangan atau dua keadaan pengalaman kemudiaan diorientasikan dengan pandangan psikoanalisis. Pada anak, awalnya konsep objek transisi ini merupakan suatu objek yang tidak bisa dibedakan dengan ibunya kemudian seiring waktu menjadi suatu keadaan dimana ia dapat mengenali keberadaan dua objek tersebut (ibu dan objek lain) sebagai dua yang terpisah. Objek transisi biasanya muncul pada usia 4-6 bulan, dimana bayi mulai aktif untuk melihat dunia luar.

Jika ditinjau dari keilmuan filsafat ilmu, munculnya konsep objek transisi ini merupakan bagian empirisme yaitu sumber ilmu yang berasal dari pengalaman observasi Winnicott. Kemudian dilakukan analisis hasil pengalaman tersebut melalui proses berpikir secara mendalam (rasionalisme) sehingga terbentuk sebuah konsep yang utuh terkait objek transisi. Pada dasarnya hakikat dari objek transisi ini adalah suatu kebutuhan dari bayi akan keamanan atas dirinya. Yang mana saat bayi menyadari bahwa ibu atau pengasuhnya tidak bersama dia, dia mulai cemas dan panik kemudian menangis. Bayi merasa bahwa dirinya sedang berada dalam situasi tidak aman, sehingga dengan menangis ia berharap ibu atau pengasuhnya mendekatinya. 

Pada saat inilah bayi harus menginternalisasi representasi ibunya, dan menciptakan "objek internal" yang ada bersamanya bahkan ketika ibu kandungnya tidak ada. Objek transisi dibuat untuk membantu bayi menginternalisasi fungsi menenangkan ini. Saat anak mulai merasakan ketiadaan ibunya, dia mentransfer energi psikis dari ibu ke beberapa objek, memberinya kemampuan untuk menenangkannya dan memulihkan perasaan keseimbangannya.

Sebagian besar teori sepakat bahwa internalisasi terjadi dalam menghadapi semacam kehilangan suatu objek, hubungan, atau fungsi yang memuaskan. Internalisasi dipandang sebagai proses pembentukan atau struktur diri. Obyek-obyek peralihan dipandang memiliki peran penting dalam proses internalisasi. Tolpin (dalam Shay, 2021) berpendapat bahwa peran objek transisi pada masa bayi adalah untuk memfasilitasi internalisasi. Berdasarkan karya Kohut, Tolpin (1971) menjelaskan konsep "transmutasi internalisasi": Ketika bayi dihadapkan pada kehilangan, dan perlu secara internal menjaga ketersediaan fungsi yang telah disediakan objek eksternal untuknya, dia pada dasarnya mendepersonalisasi objek dengan mengalihkan dari fokus pada objek total ke bagian-bagian tertentu yang terisolasi dari objek yang dia lihat melayani fungsi yang ingin terus tersedia. Ikatan emosional bayi dengan fungsi-fungsi ini kemudian ditarik dari objek dan ditarik kembali ke dalam dirinya sendiri. Ini kemudian menciptakan struktur psikis internal yang sekarang menjalankan fungsi yang telah dilakukan objek untuk anak tersebut.

Sehingga ketika ibu atau pengasuh hendak meninggalkan bayi misalnya mengambil sesuatu, ke kamar mandi, mencuci tangan atau sejenisnya bayi akan merasa tidak sendiri sebab telah menciptakan objek transisi. Objek transisi ini dapat berupa barang-barang yang ada disekitar bayi, namun biasanya sesuatu yang lunak dan lembut. Misalnya, mainan lembut, bantal, potongan kain, selimut, yang mengingatkan mereka pada bagian dari ibu atau pengasuhnya 2. Suatu barang yang dijadikan objek transisi oleh bayi biasanya terdapat ciri khas dari ibu atau pengasuh yang melekat seperti aroma, warna, tekstur atau lainnya sehingga bayi akan merasa bahwa ibu atau pengasuh itu tetap ada disisinya dengan wujud yang berbeda. 

Adapun manfaat terciptanya objek transisi ini pada bayi ialah menciptakan rasa aman pada bayi dan bayi akan tidak begitu bergantung pada ibu atau pengasuhnya. Hal ini akan sangat membantu para ibu atau pengasuh dalam menjaga anak sekaligus bisa mengerjakan suatu aktivitas lain seperti memasak dan membersihkan rumah. Namun perlu diingat bahwa objek transisi ini akan menciptakan ketergantungan pada bayi. Bayi akan mencari objek ketika hendak tidur, makan atau sedang beraktifitas lain sebab merasa nyaman dengan objek tersebut. Sehingga ketika hendak dipisahkan dari objek itu, bayi akan menangis dan berusaha mencari objek kesayangannya. Bahkan tidak sedikit bayi akan kesulitan tidur pulas jika tidak ditemani oleh objek transisinya. Salah satu cara mengatasinya ialah menciptakan objek transisi lebih dari satu, ibu atau pengasuh perlu menukar-nukar objek. Hal ini dilakukan agar tidak tercipya kelekatan melebihi ibu dari objek tersebut sehingga ketikad objek itu tidak ada maka bayi tidak akan merasa sangat kehilangan.

Dari uraian diatas, bagaimana menurut bunda-bunda, apakah objek transisi itu perlu ada pada bayi ? 

(Rizka Amalia, S.Psi)
Mahasiswa Magister Profesi Psikologi