I Wayan Agus Swartama didampingi ibunya saat keluar dari PN Mataram menuju mobil tahanan. Foto: RNETnews

Mataram, RNETnews.com - Perjalanan panjang kasus I Waya Agus Swartama alias Agus Buntung (22), pemuda difabel asal Kota Mataram, akhirnya mencapai titik akhir. Hari ini, Pengadilan Negeri Mataram telah menjatuhkan vonis atas kasus kekerasan seksual secara verbal yang menjeratnya. 

Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Agus dengan hukuman 12 tahun penjara, denda Rp100 juta, serta subsider 3 bulan kurungan. Namun, dalam putusan akhir yang dibacakan hakim, Agus Buntung divonis 10 tahun penjara, serta denda Rp100 juta, dengan subsider 3 bulan kurungan penjara. vonis ini lebih ringan 2 tahun dari tuntutan JPU sebelumnya.

 

Majelis Hakim yang Menyidangkan Agus Buntung

Sidang putusan kasus Agus Buntung digelar di Pengadilan Negeri Mataram dengan majelis hakim yang terdiri dari:

  • Mahendrasmara Purnamajati (Ketua Majelis Hakim)
  • Ary Wahyu Irawan (Hakim Anggota)
  • Lalu Moh Sandi Iramanya (Hakim Anggota)

Sidang berlangsung secara terbuka di Ruang Sidang Utama PN Mataram, dimulai pukul 11.03 WITA dan berakhir pada 12.13 WITA.

 

Bunyi Putusan Hakim

Dalam amar putusannya, Ketua Majelis Hakim Mahendrasmara Purnamajati menyatakan:

"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 10 tahun dan denda Rp100 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan." ucapnya sembari mengetuk palu hakim. Selasa,(27/05).

Hakim juga menyatakan bahwa Agus terbukti melakukan tindak pidana pencabulan lebih dari satu kali terhadap korban yang lebih dari satu orang, sebagaimana dakwaan primer Jaksa Penuntut Umum.

Agus dinyatakan melanggar Pasal 6 Huruf C juncto Pasal 15 ayat 1 Huruf E Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

Berikut rincian Pasal 6 huruf c dan Pasal 15 ayat (1) huruf e dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS):

Pasal 6 huruf c 

Mengatur bentuk kekerasan seksual nonfisik, yaitu: 

- Perbuatan verbal, isyarat, atau perilaku bernuansa seksual yang menyerang kehormatan atau martabat seseorang berdasarkan seksualitas atau gender, baik dilakukan secara langsung maupun melalui media.

Contohnya bisa berupa pelecehan secara verbal, ucapan bernada seksual, atau komentar tidak pantas yang menyerang korban secara seksual.

 

Pasal 15 ayat (1) huruf e 

Mengatur bahwa:

- Setiap orang yang melakukan kekerasan seksual nonfisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dapat dikenai pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp200 juta, jika dilakukan dengan pemberatan.

Pemberatan yang dimaksud termasuk jika:

- Dilakukan terhadap anak, difabel, dalam hubungan kuasa, atau secara berulang.

Dalam kasus Agus Buntung, pasal ini digunakan karena perbuatan verbal yang dinilai mengandung unsur seksual, dilakukan dalam situasi tertentu yang memperberat hukuman (misalnya posisi pelaku yang dianggap memiliki kuasa atau dominasi dalam interaksi tersebut).

 

Keterangan Kuasa Hukum Agus Buntung

Penasihat hukum Agus Buntung, Michael Anshory, menyatakan bahwa pihaknya menghormati putusan hakim, tetapi masih memiliki beberapa keberatan terkait pertimbangan yang diambil majelis hakim.

"Ada beberapa hal yang dapat meringankan Agus, tetapi tidak masuk dalam pertimbangan majelis hakim," ujar Michael Anshory.

Ia juga menyebut bahwa pihaknya akan mempertimbangkan langkah hukum selanjutnya, termasuk kemungkinan mengajukan banding atas putusan tersebut.

"Kami akan pikir-pikir dulu sebelum mengambil langkah berikutnya. Kami ingin memastikan bahwa hak-hak Agus tetap terlindungi dalam proses hukum ini," tambahnya.

 

Pertimbangan Majelis Hakim

Dalam putusan tersebut, majelis hakim menyampaikan beberapa keadaan yang memberatkan dan meringankan bagi terdakwa:

Keadaan yang memberatkan;

  • Perbuatan terdakwa telah menimbulkan trauma mendalam bagi korban.
  • Perbuatan terdakwa telah menimbulkan keresahan di masyarakat.

Keadaan yang meringankan:

  • Terdakwa masih berusia muda dan diharapkan dapat memperbaiki perbuatannya di masa depan.
  • Terdakwa bersikap sopan dan tertib selama persidangan, sehingga memperlancar jalannya pemeriksaan.

Kasus Agus Buntung telah menjadi sorotan nasional, bukan hanya karena pelakunya merupakan seorang difabel, tetapi juga karena jumlah korban yang terus bertambah dan modus yang dilakukan terbilang tidak biasa.

 

Perjalanan Kasus Agus Buntung.

Kasus ini pertama kali mencuat Pada 7 Oktober 2024, seorang mahasiswi berinisial M (23) melaporkan Agus atas dugaan pelecehan seksual di sebuah homestay di Mataram. Agus diduga memanfaatkan manipulasi emosional dan ancaman untuk memaksa korban melakukan hubungan seksual. Seiring berjalannya waktu, jumlah korban yang melapor terus bertambah hingga mencapai 15 orang, termasuk beberapa anak di bawah umur.

 

Kontroversi di Kalangan Masyarakat

Kasus Agus Buntung sempat menjadi kontroversi di kalangan masyarakat, terutama karena pelaku merupakan seorang penyandang disabilitas tanpa kedua tangan. Banyak pihak mempertanyakan bagaimana mungkin seseorang dengan keterbatasan fisik dapat melakukan tindakan pemerkosaan terhadap korban.

Pada awal kasus ini mencuat, beberapa media lokal sempat memberitakan bahwa Agus diduga melakukan pemerkosaan, bukan hanya pelecehan verbal. Spekulasi ini memicu perdebatan di media sosial, dengan sebagian masyarakat meragukan tuduhan tersebut dan menganggap Agus sebagai korban fitnah.

Namun, penyelidikan lebih lanjut mengungkap bahwa Agus menggunakan manipulasi emosional dan ancaman psikologis untuk memaksa korban mengikuti keinginannya. Bukti berupa rekaman suara dan video yang ditemukan di ponsel korban semakin memperkuat dugaan bahwa Agus memang melakukan tindakan pelecehan seksual secara verbal dan psikologis.

Menanggapi kontroversi ini, pakar psikologi forensik Reza Indragiri menyatakan bahwa stereotip tentang disabilitas bisa menjadi salah satu penyebab awal masyarakat meragukan keabsahan tuduhan terhadap Agus.

"Agus Buntung memanfaatkan stereotip yang masyarakat bangun stereotip yang keliru bahwa kondisi disabilitas membuat individunya tidak mungkin berpikir apalagi melakukan kejahatan," ujar Reza Indragiri,pada (5/12/24).

Ia juga menilai bahwa Agus memiliki pola perilaku yang berulang dan berbahaya, sehingga perlu penanganan hukum yang serius.

"Kita patut punya keinsafan bahwa orang ini adalah orang yang super berbahaya. Maka sepatutnya otoritas penegakan hukum melakukan penyikapan yang sangat serius terhadap yang bersangkutan sejak sekarang," tambahnya.

Ketua Komisi Disabilitas Daerah (KDD) NTB, Joko Jumadi, juga menegaskan bahwa penyandang disabilitas tetap bisa menjadi pelaku kejahatan, sehingga tidak boleh ada diskriminasi dalam penegakan hukum.

"Kasus ini menunjukkan bahwa siapa pun bisa menjadi pelaku kejahatan, terlepas dari kondisi fisiknya. Yang terpenting adalah bagaimana kita menegakkan hukum secara adil dan memberikan perlindungan bagi korban," ujar Joko Jumadi, pada (10/01/25).

Ia juga menyatakan bahwa kasus ini seharusnya tidak menciptakan stigma negatif bagi komunitas disabilitas secara keseluruhan.

"Kami berharap masyarakat tidak melihat kasus ini sebagai cerminan dari penyandang disabilitas secara umum. Tindak kriminal bisa dilakukan oleh siapa saja, bukan karena kondisi fisik seseorang, tetapi karena niat dan kesempatan," tambahnya.

 

Penetapan Tersangka dan Proses Olah TKP

Seiring dengan semakin kuatnya bukti dan kesaksian korban, Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda NTB akhirnya menetapkan Agus sebagai tersangka pada 9 Desember 2024.

Polisi kemudian melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) di beberapa lokasi yang disebutkan dalam laporan korban. Selain homestay di Mataram, polisi juga melakukan olah TKP di Taman Udayana, tempat Agus diduga sering menjaring korban. Dalam proses tersebut, rekonstruksi kejadian dilakukan dengan melibatkan saksi dan korban (pengganti. red) untuk memperjelas peristiwa yang terjadi.

Rekaman video dari ponsel korban menjadi bukti kuat dalam kasus ini. Video tersebut menunjukkan interaksi Agus dengan korban serta percakapan yang mengarah pada manipulasi psikologis. Polisi juga mengonfirmasi bahwa beberapa korban yang keluar dari tempat kejadian mengalami trauma berat, terbukti dari kondisi mereka yang terlihat panik dan menangis.

 

Tuntutan dan Pasal yang Dilanggar

Pada 5 Mei 2025, Jaksa Penuntut Umum Ricky Febriandi membacakan tuntutan terhadap Agus dalam sidang tertutup di Pengadilan Negeri Mataram. Agus dituntut dengan hukuman 12 tahun penjara, denda Rp100 juta, serta subsider 3 bulan kurungan.

Jaksa menyatakan bahwa Agus terbukti melanggar Pasal 6 Huruf C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Pasal ini mengatur tentang tindakan pelecehan seksual yang dilakukan dengan memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan, atau ketergantungan seseorang, serta memaksa atau menyesatkan korban untuk melakukan atau membiarkan perbuatan cabul.

"Ini korbannya lebih dari satu, perbuatan ini juga menjadi alasan kami memberatkan tuntutan karena meresahkan masyarakat, juga menimbulkan traumatik terhadap para korban," ujar Ricky Febriandi pada (10/01/25).

Ia juga menambahkan bahwa Agus tidak menunjukkan penyesalan atas perbuatannya dan justru berkelit selama persidangan.

"Agus selalu berkelit dan tidak mau menyesali perbuatannya. Bahkan, ia tidak menunjukkan rasa simpatinya terhadap para korban," tambahnya.

Vonis yang akan dijatuhkan hari ini menjadi momen penentuan bagi perjalanan panjang kasus ini. Banyak pihak berharap agar keputusan pengadilan dapat memberikan keadilan bagi para korban, sekaligus menjadi peringatan bagi pelaku kekerasan seksual lainnya.

Kasus Agus Buntung telah menjadi sorotan nasional, bukan hanya karena pelakunya merupakan seorang difabel, tetapi juga karena jumlah korban yang terus bertambah dan modus yang dilakukan terbilang tidak biasa. Kini, masyarakat menunggu hasil sidang vonis yang akan menentukan nasib Agus ke depan. (red.)