Riadis Sulhi,Ketua IJTI NTB. Photo: Istimewa
Mataram, NTB - Kebebasan pers di Nusa Tenggara Barat (NTB) terancam dikekang dengan adanya tiga pasal krusial dalam Rancangan Undang-Undang Penyiaran (RUU Penyiaran),  hal itu dinilai berpotensi membatasi ruang gerak jurnalis dalam berkarya. Hal ini disampaikan oleh Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) NTB, Riadi Sulhi, Jumat di sela acara Uji Kompetensi Wartawan yang digelar Dewan pers di Mataram (17/5/2024).


Pasal-pasal yang dimaksud adalah Pasal 8 dan Pasal 42 yang memberikan kewenangan kepada lembaga selain Dewan Pers untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik. Menurut Riadi, hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang telah mengatur secara jelas kewenangan Dewan Pers dalam menyelesaikan sengketa jurnalistik.


"Pemberian kewenangan kepada lembaga lain selain Dewan Pers akan menciptakan dualisme dan potensi tumpang tindih dalam penyelesaian sengketa jurnalisti yang akan menghambat proses penyelesaian sengketa dan justru memperkeruh situasi." jelas Riadi.


Sumirnya pasal yang tertuang dalam RUU tersebut dikhawatirkan akan mengurangi otentifikasi karya jurnalistik, karena tidak adanya independensi dalam penyelesaian kasus, dan kekhawatiran terjadinya interpensi kepentingan. Justru hal itu juga akan mengebiri fungsi pers sebagai salah satu penyeimbang kehidupan bernegara, dalam pungsinya sebagai salah satu pilar demokrasi. 


“Jika penengahnya tidak independen, siapa yang akan menjamin karya jurnalistik itu bebas  kepentingan dan interpensi, tugas pers sebagai satu pilar demokrasi juga akan semakin kabur,” tegasnya.


Selain itu, IJTI NTB juga menolak Pasal 50 RUU Penyiaran yang dinilai membatasi ruang gerak jurnalis melakukan investigasi berikut dalam penayangannya. Riadi menegaskan unsur investigatif sebagai bentuk kebebasan dalam berkarya,  yang  telah diatur oleh kode etik dan juga Pedoman Prilaku Penyiaran dan standar program siaran atau P3SPS. 


“Jurnalisme investigasi menjadi salah satu prestise yang berhak didapatkan oleh masyarakat dalam mengurai persoalan sosial.  Bukankah Insan pers sudah diatur oleh kode etik jurnalistik, Perusahaannya juga harus berpedoman penyiaran P3SPS, apakah itu tidak cukup,” sanggahnya. 


IJTI NTB mendesak pemerintah dan DPR RI untuk meninjau kembali ketiga pasal tersebut sebelum diundangkan. Semua pihak harus memastikan bahwa RUU Penyiaran tidak akan mengekang kebebasan pers di era keterbukaan. Riadi juga mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama menjaga dan memperjuangkan kebebasan pers sebagai hak rakyat untuk mendapatkan informasi yang berimbang dan akurat.


"Kebebasan pers adalah bagian dari hak asasi yang harus terus dilindungi, kita semua harus bersatu untuk memastikan bahwa RUU Penyiaran tidak menjadi alat untuk membungkam suara rakyat dan menghambat terciptanya kehidupan demokrasi yang relevan dengan kebutuhan zaman," pungkasnya. (red/IJTI_NTB)