Lombok Timur,-Adat merarik tentu sudah bukan suatu hal yang tabu bagi masyarakat Pulau Lombok. Merarik alias kawin culik bagi masyarakat luar merupakan suatu hal yang kontroversial, namun di Lombok, kebudayaan tersebut justru secara turun-temurun ditransmisikan.

Selain keunikan pada proses pelaksanaan merarik tersebut, ternyata ada satu fakta unik lain yang berhasil diungkap oleh empat mahasiswa Universitas Mataram dari Program Studi Pendidikan Sosiologi dan Sosiologi. 

Empat orang itu ialah M. Qomaruzzam Alawiyyin Batin Zohiro, Paenal Juni Harian, Khairul Nur Hazami, dan Santiani. Keempat mahasiswa tersebut tergabung dalam Tim PKM RSH yang mendapatkan hibah pendanaan dari Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek). 

Penelitian yang mengambil tempat di Desa Menceh, Kecamatan Sakra Timur, Kabupaten Lombok Timur mulai dari bulan Juli-Agustus tersebut mengkaji tentang peran sistem adat pernikahan Sasak dalam meredam konflik akibat dari merarik yang dilakukan pada usia anak.

Hasil dari penelitian yang dilakukan selama lebih kurang dua bulan tersebut menunjukkan adanya peran secara alamiah dari kebudayaan merarik tersebut dalam mengatasi potensi konflik yang dapat terjadi akibat pernikahan yang dilakukan pada usia anak dengan adat merarik.

M. Qamaruzzam Alawiyyin Batin Zohiro selaku ketua tim menjelaskan, adat merarik dari perspektif penelitian yang dikembangkan terbagi menjadi dua tahap yaitu tahap pertama yang memunculkan potensi konflik pada prosesi merarik/maling, besejati, dan selabar, dan tahap kedua sebagai peredam terjadinya konflik pada prosesi ngawinan, nyongkolan, dan bales lampak nae.

“Tentu menjadi pertanyaan kenapa adat yang dianggap tabu dan kontroversial bagi masyarakat awam ini bisa bertahan sampai sekarang di Lombok, padahal kalau di luar pasti sudah ribut antara kedua belah pihak bahkan satu kampung karena ada perempuan yang dinikahi dengan cara diculik tanpa sepengetahuan orang tuanya. Nah jadi pasti ada hal unik yang membuat budaya ini masih subur di Lombok,” jelas Alawi.

Alawi kemudian lanjut menuturkan, untuk memperoleh hasil yang valid, dalam satu penelitian haruslah dengan perolehan data yang akurat, baik itu data primer maupun sekunder. Data primer, kata Alawi, diperoleh melalui observasi dan wawancara di lokasi penelitian. Sementara, data sekunder didapatkan dari hasil-hasil penelitian terdahulu yang relevan.

“Pada tahap awal kami terjun melakukan observasi guna memastikan lokasi penelitian sudah sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan. Barulah kemudian dilakukan wawancara dengan 19 informan yang ada di Desa Menceh,” tuturnya.

Masih dijelaskan Alawi, pernikahan usia anak menjadi variable penting pada penelitiannya itu, sebab adat merarik yang dilakukan oleh pasangan usia matang saja berpotensi menimbulkan cekcok, apalagi jika calon pengantin tersebut salah satunya berasal dari kalangan pelajar atau yang masih di bawah usia 19 tahun.

“Tentu itu akan lebih berpotensi memantik konflik antar kedua kelarga pasangan,” ujarnya.

Alawi terakhir menjelaskan alasan memilik Desa Menceh sebagai lokasi penelitian. Kata Alawi, Desa Menceh dipilih atas dasar dari rekomendasi pihak camat yang mengatakan di lokasi tersebut masih cukup marak kasus pernikahan usia anak yang dilaksanakan dengan adat merarik.

“Waktu itu kita ketemu sama Pak Sekcam, dan kasih pilihan antara Desa Menceh atau Gereneng Timur, dan setelah kita coba cek di dua desa itu, ternyata Desa Menceh lebih memungkinkan untuk penelitian kami,” pungkasnya.(Wn).