OLEH : SEALA SYAH ALAM

Kemajuan pembangunan yang dialami oleh bangsa Indonesia telah menempatkan kita dalam keadaan yang lebih baik dibandingkan dengan masa lalu. Seiring pula dengan perubahan lingkungan strategis global yang ditandai dengan kemenangan ideologi demokrasi atas totalitarianisme serta hadirnya era globalisasi di tengah kita dirasa telah saatnya kita perlu untuk melakukan reformasi nasional guna meningkatkan daya saing bangsa dan memasuki persaingan antar bangsa dalam era globalisasi tersebut. Perlu dirubah atau tidaknya suatu institusi disamping karena embanan misi juga didasarkan kepada tantangan yang dihadapi. Reformasi sektor keamanan merupakan salah satu bagian penting dari reformasi nasional sesuai TAP MPR Nomor: VI dan VII/MPR/2000 yang esensinya TNI akan meninggalkan politik praktis dan berkonsentrasi pada tugas pokok pertahanan negara sedangkan pemeliharaan keamanan merupakan tugas Polri dan pelibatan TNI dalam bantuan keamanan dilaksanakan melalui prosedur permintaan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Salah satu aktor keamanan adalah intelijen yang memiliki tiga peran yaitu memberikan warning, estimation dan menciptakan situasi yang akan membantu memutuskan suatu kebijakan. Untuk negara sebesar Indonesia dengan beragam persoalan dan permasalahan diperlukan data intelijen yang akurat.

Persoalan berikut adalah siapa yang membutuhkan intelijen dan siapa yang memasok dan jawabannya tergantung dari tataran intelijen, apakah pada tataran taktik, tataran teknis atau tataran strategis. Selain proses dan pengguna intelijen, masih ada faktor yang sangat berpengaruh yaitu memisahkan antara pengumpul data dengan pengolah data karena jangan sampai pengumpul data ditugasi untuk mengolah data yang dapat mengakibatkan hasilnya sangat rancu dan bahkan tidak bermanfaat sama sekali selain juga berbahaya tentunya. Konsep-konsep keamanan baru setelah berakhirnya Perang Dingin seperti keamanan bersama (common security), keamanan komprehensif (comprehensive security) dan keamanan kooperatif (cooperative security) telah memperluas cakupan agenda keamanan dan mengakui adanya aspek di luar militer.

Keamanan komprehensif (comprehensive security) merupakan keamanan semua aktor dan mencakup semua aspek kehidupan manusia. Keamanan bersama (common security) diperkenalkan oleh Komisi Palme pada tahun 1980-1981 yang percaya bahwa hubungan antar aktor yang saling bermusuhan bisa dirubah dengan menciptakan kebijakan keamanan yang saling transparan dan tidak agresif dengan tujuan untuk menghilangkan rasa saling curiga akan maksud pihak lain untuk mencegah konflik bersenjata. Keamanan kooperatif menekankan upaya untuk menciptakan keamanan melalui dialog, konsultasi, pembentukan rasa saling percaya tanpa harus melalui pendekatan-pendekatan formal-institusional.

Penyelenggaraan keamanan nasional harus berdasarkan prinsip demokrasi dan “good governance” yang meliputi supremasi otoritas politik, trnasparansi dan akuntabilitas. Aspek-aspek ini dapat dilihat dari siapa yang membuat kebijakan baik dalam situasi normal maupun darurat, implementasi kebijakan dan pengawasan kebijakan. Pada tingkat tertinggi, Presiden memegang wewenang dan tanggung jawab keamanan nasional, menetapkan prioritas kebijakan keamanan nasional, strategi untuk mencapainya dan penggunaan instrumen-instrumen keamanan untuk mencapai tujuan keamanan nasional. Sementara pengawasan kebijakan dapat dilakukan secara internal dalam cabang pemerintahan dan masing-masing instrumen keamanan, sedangkan pengawasan eksternal dilakukan melalui DPR yaitu dengan dua mekanisme legislasi dan anggaran serta masyarakat.

Masalah ini sangat relevan di Indonesia karena reformasi penataan kelembagaan instrumen keamanan belum selesai, seperti UU No. 34/2004 tentang TNI yang menyatakan bahwa TNI berada di bawah koordinasi Departemen Pertahanan, secara riil belum disepakati bagaimana pengaturan hubungan kelembagaan antara TNI dan Departemen Pertahanan. Kedudukan Polri juga tidak kalah problematik karena sebagian besar kalangan di Polri tidak sepakat Polri berada di bawah suatu Departemen karena khawatir tidak dapat menjalankan fungsi penegakan hukum jika departemen tersebut dikepalai oleh seorang menteri yang berasal dari partai politik. Prinsip demokrasi menegaskan adanya pembedaan antara pertanggungjawaban politik dan pertanggungjawaban operasional. Instrumen keamanan seperti TNI dan Polri tidak memiliki pertanggungjawaban politik tetapi pertanggungjawaban operasional dalam melaksanakan tugas atas dasar-dasar ketentuan operasional.

Demokrasi dan “good governance” juga berarti perlunya spesialisasi dan distribusi fungsi-fungsi keamanan untuk mencegah akumulasi kekuasaan di tangan satu institusi dan/atau instrumen keamanan karena akumulasi kekuasaan cenderung akan melahirkan penyalahgunaan kekuasaan yang dapat berujung pada pelanggaran hak asasi manusia. Spesialisasi juga dimaksudkan untuk mencegah terjadinya saling tumpang tindih antar institusi. Selain itu perlu pengembangan mekanisme pengawasan dan akuntabilitas baik secara internal melalui aturan birokrasi dan operasional internal maupun eksternal melalui beberapa ketentuan undang-undang. Prinsip proporsionalitas yaitu bahwa penggunaan instrumen kekerasan harus dilakukan sebagai pilihan terakhir (the last resort) dan secara proporsional terhadap tujuan yang akan dicapai harus diperhatikan dalam pembentukan dan pengembangan sistem keamanan nasional. Penggunaan instrumen kekerasan ini tidak boleh melanggar “unnecessary suffering” begitu juga penyidikan yang dilakukan oleh Polisi tidak boleh melakukan penyiksaan.

Oleh karena itu langkah terbaik adalah memperkuat kemampuan intelijen untuk dapat memperoleh informasi akurat dan mengembangkan metode-metode khusus tanpa harus menggunakan kekerasan. Jika kekerasan harus digunakan maka setiap gradasi penggunaannya harus proporsional terhadap situasi dan dapat dipertanggungjawabkan secara politis dan operasional. Ini berarti diperlukan pembentukan aturan pelibatan (rules of engagement) untuk mengukur perkembangan situasi dan instrumen apa yang harus digunakan dan untuk mengevaluasi pelaksanaan tugas di lapangan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Eskalasi konflik dan penetapan gradasi keadaaan harus juga secara jelas dirumuskan seperti bentuk operasi penanggulangan masalah keamanan untuk setiap keadaan yang bersifat khusus yaitu tertib sipil, darurat sipil, darurat militer atau darurat perang. Penerapan dan pendekatan pada masa keadaan darurat militer tidak dapat diberlakukan pada keadaan darurat sipil dan tertib sipil atau sebaliknya. Operasi keamanan tidak hanya harus memperhatikan gradasi situasi, malainkan juga harus didasarkan pada jenis ancaman keamanan nasional. Pengaturan tentang pengerahan dan penggunaan kekuatan instrumen kekerasan menegaskan selain harus berdasarkan pada keputusan politik juga disertai dengan mekanisme pertanggungjawaban. TNI tidak dapat mengerahkan dirinya sendiri dalam keadaan apapun kecuali dalam keadaan darurat bencana, sedangkan polisi dan kejaksaan dalam menangani masalah penegakan hukum dapat bergerak tanpa harus menunggu adanya perintah politik pengerahan dari Presiden dengan persetujuan DPR.

Di Indonesia, keberadaan lembaga intelijen sebagai salah satu aktor keamanan nasional sudah dirasakan kehadirannya bersama dengan revolusi fisik di masa kemerdekaan, dimana kegiatannya dimulai dengan cara mendompleng Jepang, kemudian belajar kepada intel Sekutu hingga mengambil peluang dari persaingan intelijen negara adidaya di era perang dingin. Secara historis, pola kehadiran intelijen di Indonesia mengikuti pola pertama yaitu intelijen yang lahir dari institusi militer, sedangkan pola lainnya seperti intelijen yang lahir dari polisi dan dari kegiatan diplomasi dapat dilihat di Jerman dan Rusia. Secara kelembagaan, eksistensi dan peran strategis badan atau dinas intelijen Indonesia berubah nama berkali-kali dari Dewan Istimewa menjadi BRANI (Badan Rahasia Negara Indonesia), kemudian berubah menjadi Badan Pertahanan B atau Bagian V di bawah Menteri Pertahanan. Kemudian berubah lagi menjadi seksi-seksi intelijen di setiap Angkatan, selanjutnya diorganisir lagi ke dalam BKI (Badan Koordinasi Intelijen) yang selanjutnya menjadi BPI (Badan Pusat Informasi).

Pada tanggal 22 Agustus 1966, BPI oleh mantan Presiden Soeharto diubah namanya menjadi KIN (Komando Intelijen Indonesia) yang kemudian berubah menjadi BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Indonesia) dan BAIS pada tanggal 22 Mei 1967. Di bawah Presiden Abdurrahman Wahid, BAKIN berubah menjadi BIN (Badan Intelijen Negara) sampai sekarang. Di luar BIN dengan fungsi koordinasi, masih ada lembaga intelijen paralel, yakni intelijen militer BAIS dan intelijen Polri Baintelkam disamping intelijen di Kejaksaan Agung, Bea Cukai dsb.

Intelijen merupakan bagian dari sistem keamanan suatu negara. Intelijen menyediakan pengetahuan mengenai kondisi internal dan eksternal yang dapat mempengaruhi pertahanan dan keamanan negara kepada pembuat kebijakan. Karena perannya ini, maka intelijen sangat diperlukan bagi suatu negara sebagai baris terdepan dalam sistem keamanannya. Sebagai bagian dari sistem keamanan negara, perubahan dalam intelijen secara langsungg maupun tidak langsung juga dipengaruhi oleh perubahan politik dan ideologi negara. Perjalanan sejarah Indonesia telah membawa negara ini mengalami sistem politik yang berbeda-beda hingga sampai ke era demokrasi saat ini. Saat ini, intelijen Indonesia masih dianggap oleh masyarakat sebagai warisan rejim Suharto (Orde Baru) yang lebih melakukan kegiatannya secara represif dan terkadang melanggar hukum dan HAM.

Sementara pada negara yang menganut sistem Demokrasi, penegakan hukum dan respek terhadap HAM menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan. Transparansi juga merupakan bagian tidak terpisahkan dari sistem demokrasi itu sendiri. Untuk itu dalam tulisan ini akan dibahas mengenai penguatan intelijen dalam pengawasan kerja intelijen. Reformasi intelijen negara, dilakukan dengan tujuan agar terbentuk intelijen profesional, intelijen yang sesuai dengan negara hukum demokratis, terjadinya diferensiasi intelijen, dan mekanisme pertanggung jawaban dan mekanisme pengawasan yang diatur secara jelas dan terukur. Menurut Widjajanto, A., & Wardhani, A. (2008), menyatakan bahwa reformasi intelijen berupaya mencapai suatu interaksi fragmentasi intelijen yang ditopang oleh unit intelijen yang profesional dalam proses pengawasan demokratis. Disamping itu juga, pengelolaan sistem intelijen yang efektif, dan profesional dalam tataran yang demokratis merupakan kondisi wajib bagi setiap negara.

Budaya rahasia merupakan budaya intelijen yang sudah ada sejak lama. Budaya ini melekat karena aktivitas yang dilakukan oleh intelijen bertujuan untuk menjaga rahasia negara agar tidak jatuh ketangan musuh. Untuk itu, beberapa kegiatan intelijen dilakukan dengan operasi rahasia. Hal ini karena jika identitas personil intelijen diketahui pihak musuh dapat menimbulkan bahaya, tidak hanya bagi diri personil tersebut tetapi juga bagi negara. Namun demikian, hal ini tidak serta merta membuat intelijen dapat melakukan tindakan yang melanggar hukum dan HAM dalam melakukan tugasnya. Dalam negara demokrasi, intelijen diharapkan dapat mempertanggungjawabkan (accountable) setiap operasi yang dilakukannya. Akuntabilitas diperlukan karena pembiayaan intelijen dilakukan dengan memakai APBN yang berasal dari masyarakat sehingga penting untuk adanya pertanggungjawaban dari pihak intelijen. Akuntabilitas tidak hanya menyangkut aspek keuangan saja tetapi juga dijadikan sebagi bentuk evaluasi terhadap kinerja personil intelijen dan pengaruhnya terhadapa kebijakan atau perubahan yang terjadi di dalam masyarakat domestic maupun internasional. Hal ini karena profesi intelijen membutuhkan keahlian yang tinggi disebabkan oleh kerumitan dan kerawanan dari tugas yang dilaksanakan.

Akuntabilitas merupakan salah satu cara yang juga dilakukan untuk dapat mengawasi tindakan yang dilakukan personil intelijen, terutama mengenai tindakan pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum di era demokrasi menjadi sorotan penting di masyarakat dan media menjadi alat masyarakat untuk mengawasi pelanggaran hukum ini terutama yang dilakukan oleh aparat negara. Hasil akuntabilitas ini tidak hanya bermanfaat untuk melakukan penilaian hasil operasi oleh lembaga intelijen atau lembaga pengawas dari pemerintah, tetapi juga bagi administrasi kepegawaian personil intelijen. Dengan ini, lembaga intelijen menjadi tahu personil intelijen mana yang menjalankan tugas dengan sungguh-sungguh dan mana yang tidak. hal ini juga sebagai pertanggungjawaban moral yang dilakukan lembaga intelijen kepada masyarakat karena pembiayaan operasi dari uang masyarakat.

Hak Asasi Manusia juga merupakan aspek penting yang mesti mendapat perhatian penting bagi intelijen dalam melaksanakan operasinya. Pelanggaran HAM akan membuat kepercayaan masyarakat kepada intelijen menjadi berkurang. Masyarakat akan berasumsi bahwa bagaiamana suatu lembaga keamanan negara dapat melindungi warganya jika mereka sendiri tidak menghormati HAM.

Padahal sudah semestinya sebagai bagian dari sistem keamanan negara, lembaga intelijen perlu mendapat dukungan dari masyarakat dalam melaksanakan tugasnya. Dalam melaksanakan fungsinya untuk melindungi kepentingan nasional dan pertahanan keamanan negara, tidak menutup kemungkinan bagi intelijen melakukan pelanggaran hukum dan HAM. Terutama untuk aktivitas covert. Sebelum tindakan tersebut dilakukan, maka penting bagi personil intelijen untuk mendapat persetujuan otoritas operasi agar segala tindakan yang dilakukan dapat dipetanggungjawabkan dengan argumentasi rasional. Disinilah menurut penulis peran penting etika intelijen. Etika merupakan panduan penting bagi intelijen dalam membantu mengarahkan tindakan personil intelijen, baik itu etika organisasi maupun etika dari tiap-tipe profesi intelijen. (Red).